Selasa, 02 Mei 2017

NIKMATNYA SATE DOMBA ALA AFRIKA DI TANAH ABANG

Hello, ini adalah postingan pertama kami untuk mereview tempat kuliner yang unik dan tentunya enak, nah beberapa hari lalu kami sempet ngeliat tayangan program kuliner tv, nah kebetulan sedang membahas salah satu tempat kuliner di tanah abang yang menyajikan domba bakar ala afrika, karena penasaran kami pun segera melakukan investigasi di lokasi secara langsung.
sebelumnya kita sempat ke senayan city untuk ikut promo dari gerai resto terkenal yang sedang opening, ada 50 porsi yang disajikan, karena telat ya kami gadapet, jadi skip dulu deh cerita tentang kuliner apa yang kita cicipi di senayan city ( nanti akan kita bahas pada postingan selanjutnya ), karena sempat jengkel gadapet antrian, akhirnya kami memutuskan mencoba Sate domba afrika di tanah abang ini, karena penasaran seperti apa kuliner ala afrika ini.

Sate Domba Afrika Haji Ismail terletak di jalan K.S. Tubun, di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, kalau teman- teman ingin mampir kesini, mungkin pertama kali bakal bingung karena lokasinya tergolong " ngumpet " gada plang atau papan petunjuk layaknya restoran pada umumnya, tapi biar gak nyasar temen- temen bisa ngambil patokan di museum tekstil, lokasinya persis di samping museum, tapi temen- temen wajib bertanya kepada warga sekitar, karena menurut saya tempatnya bener- bener tersembunyi, entah memang strategi jualan agar terjaga ke-khasan nya atau entahlah? yang penting bertanyalah daripada nyasar.

cukup heran ketika masuk ke lokasi, tempatnya sangat sederhana, sempet berpikir kok bisa jualan di tempat sengumpet ini tapi tetep laris malah melegenda ? hehe.

waktu kami datang tempatnya lagi lumayan sepi, mungkin jam makan siang sudah lewat, tapi umumnya memang rame, kami duduk dan langsung bertanya sajian menunya, oiya kebetulan di lokasi kami bertemu dengan owner nya, namanya pak Haji Ismali Coulibaly, asli dari Mali, Afrika dan memang beliau adalah pendatang asli, ngomong-ngomong kalau yang meracik menu adalah orang asli, sudah pasti dong rasa gak bohong, ya kan?




kami pesan 1 porsi sate domba afrika, eittss jangan salah yah, bukan dalam bentuk sate yang ada tusukan, memang murni daging domba bakar yang dibakar lalu dipotong2, dan menu pendamping khas nya adalah pisang bakar, lho kok bisa? mungkin ini bagian dari legendnya, tapi tenang aja, temen- temen tetep bisa mesen nasi sebagai pengganti pisang, namanya juga orang indonesia.

jujur aja agak kaget juga, kok porsinya dikit yah? hmmm, tapi ketika dicoba..Masya Allah baru kali ini saya nikmati domba seenak dan seempuk ini, menurut saya worth it juga untuk seporsi domba bakar, dimakan bersamaan dengan pisang bakar dicocol dengan saus mustard yang disediakan ( lagi lagi ciri khas ) rasa nya cukup khas sesuai lidah orang indonesia, mungkin saya rasa, mustardnya gak semua cocok, perpaduan rasa gurih domba bakar dicampur dengan asamnya mustard dan manis nya pisang menurut saya nano nano juga, kembali ke selera masing- masing, kalo saya sih cocok, gak cocok ama mustard? tenang sudah disediakan sambal kok hehe.

pelayanan sangat cepat yah jujur aja 5 meni makanan dan minuman langsung tersedia di meja hehe, so pasti inilah pengalaman kuliner pertama saya dengan tema afrika, dan kekayaan kuliner di jakarta gak cuma makanan lokal atau barat/oriental aja, tapi masih ada pula sensasi makanan afrika yang sarat akan domba atau kambing.

untuk harga sih fine lah, 1 porsi domba afrika harganya 50rb, pisang bakar 15rb, mustard tinggal cocol aja, es teh manis dan nasi putih standar sih harganya, yang pasti kembali ke temen- temen sih, kalau yang merasa tertantang nyobain kuliner yang legend seperti Sate Domba Afrika Haji Ismail bisa kok mampir kesini, buka jam 10 pagi hingga jam 5 sore, jangan sampai keabisan yah :)

- your foodreview, puasjajan,blogspot.com

Senin, 03 April 2017

PEDASNYA INDOMIE ABANG ADEK


“Pokoknya, pedasnya melebihi rasa pedas dipoligami”.
Begitulah ungkapan teman saya untuk menggambarkan bagaimana cita rasa mi di warung ‘Abang Adek’. Awalnya saya tak begitu percaya. Sudah sering kali saya mendengar omongan orang yang menggembar-gemborkan menu makanan pedas, namun setelah mencoba hanya berujung kecewa karena rasanya tak seperti yang saya bayangkan.
Tapi promosi bergaya hiperbola seperti itu membuat saya tertarik. Seperti apa rasa yang lebih pedas daripada dipoligami? Dan ketika saya mencari tahu ihwal warung mi ‘Abang Adek’ itu melalui internet, ada yang juga menarik. Di salah satu blog disebutkan bahwa menu di warung itu bermula dari keisengan si Adek yang memasak mi untuk abangnya. Dan mi itu sengaja dibuat super pedas.
Ketika saya meluncur ke kawasan Tomang, Jakarta Barat, tempat makanan itu berada, ternyata informasi itu hanya semacam canda. Menurut si adek yang saya tanya, Simus (41), tak ada skenario mengerjai si abang, H. Sartono (46). Keduanya hanya perantau dari Kebumen, Jawa Tengah, di Jakarta dengan usaha makanan.
Penjaga Kos
Sekitar tahun 1994 – 1995, rumah di Jalan Mandala Utara No. 8—tepatnya di belakang Roxy Square—ini adalah tempat kos biasa yang dijaga Simus dan H. Sartono. Bermaksud mencari penghasilan tambahan, atas izin pemilik kos, keduanya mendirikan warung kecil untuk menjual mi.
Tapi mereka sadar, apa yang mereka jual sama saja dengan orang lain. Warung mi macam ini sudah menjamur di pinggir-pinggir jalan. Karena itu, keduanya punya ide untukmembuat sebuah konsep yang berbeda, yakni menjual mi bercita rasa pedas.
Kalau biasanya mi disantap dengan saos atau irisan cabai rawit, abang adik ini menjanjikan pengalaman makan mie dengan level kepedasan berbeda-beda: ‘sedang’, ‘pedas’, ‘pedas garuk’, ‘pedas gila’, dan ‘pedas mampus’. Penamaan level pedas macam itu bagaikan jaminan yang membuat keringat bisa-bisa sudah keluar duluan.
Menurut cerita, tingkat ‘sedang’ menggunakan tujuh cabai, ‘pedas’ 25 cabai, ‘pedas garuk’ 60 cabai, ‘pedas gila’ 80 cabai, dan ‘pedas mampus’ 180 cabai. Tapi, apakah memang benar dihitung tepat? Tentunya membedakan tingkat kepedasan satu dengan lainnya tidaklah benar-benar dapat dihitung 80 atau 180 cabai. Jumlah cabainya dikira-kira saja.
Mi pedas ini kenyataannya mendapat respon yang baik. Kekuatan mulut ke mulut membuat warung mi ‘Abang Adek’ ini ramai dikunjungi pelanggan. Akhirnya, dua bersaudara ini pun diakui sebagai wirausahawan sukses. Mereka memperoleh penghargaan sebagai “Pengusaha Teladan se-Jakarta Barat 2011”.
Sekarang omzet warungnya mencapai Rp. 60-70 juta per bulan. Dengan waktu buka mulai pukul 16.00 – 03.00 WIB, rata-rata perhari bisa menghabiskan 22 kardus mie instan. Jika dulunya tidak ada karyawan, kini mereka mempekerjakan 15 karyawan. Hanya saja dua bersaudara ini tetap sederhana dan belum ada niat untuk membuka cabang.
“Masih cari-cari, soalnya pada mahal semua,” kata Simus.
Pedasnya Menggelegak
Sesuai slogan Simus dan H. Sartono “merakyat dan menjangkau masyarakat bawah”, harga mi di warungnya relatif nyaman di kantong. Mi level ‘pedas’ diganjar Rp. 13.000. Harga ini naik Rp. 1.000 untuk setiap level di atasnya.
Kalau soal rasa, karena cabainya diulek dan diaduk langsung di piring, pedasnya memang langsung “nancap”. Aroma panas cabai langsung menguar. Itupun masih yang levelnya ‘pedas’, belum ‘garuk’, ‘gila’, apalagi ‘mampus’.
Kenikmatan mengunyah mi pun masih terbaca. Tekstur minya yang kenyal, bumbunya yang wangi, dan tingkat gurihnya, masih terasa benar di lidah, walaupun sesekali air mata keluar dan hidung menyeruput ingus. Sekali lagi, itu masih level pedas, yang katanya 25 cabai—padahal faktanya saya hanya meminta digeruskan 10 cabai saja. Bagaimana lagi dengan level pedas garuk, gila, dan mampus?
Menurut yang sudah pernah mencoba level ‘pedas mampus’, rasanya memang benar-benar bikin mampus! Tak ada lagi enaknya. Yang ada cuma rasa pedas yang amat sangat. Macam menggelegak.  Badan lemas, perut panas, keringat mengucur, dan bisa saja diare usai menyantapnya. Toh tetap saja ada yang memesan. Entah karena penasaran, sekadar mencoba, atau ingin dianggap jagoan karena berhasil menaklukkan rasa pedasnya.
Akhir cerita, tiadak ada di antara yang berani mencoba mi level ‘pedas mampus’. Kawan saya bilang tak sanggup dengan pedasnya. Membayangkan jumlah cabainya saja sudah ngeri.